STMT Trisakti

Saturday, May 28, 2011

Mutu Infrastruktur Pelabuhan Indonesia


Mutu Infrastruktur Pelabuhan Indonesia

Disusun untuk memenuhi tugas mandiri mata kuliah Manajemen Mutu
pada perkuliahan Alih Program ANT / ATT I - II ke Program Studi S1
Manajemen Transportasi Laut STMT Trisakti



Disusun oleh :
KELOMPOK VI
1.      SUKAMTO.
2.      ALFA KHAIRULLAH ZAIN.
3.      JUDY YOHANIS.
4.      MOHAMMAD TATANG.
5.      SULIS GIANTO.
6.      TIO LINA SIMAMORA.

SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN TRANSPOR
 TRISAKTI
2011
       I.            PENDAHULUAN
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memerlukan sektor pelabuhan yang berkembang dengan baik dan dikelola secara efisien. Daya saing produsen baik dalam pasar nasional maupun internasional, efisiensi distribusi internal dan, yang lebih umum, kepaduan dan integritas ekonomi nasional sangat dipengaruhi oleh kinerja sektor pelabuhan.
Meskipun pelabuhan nyata-nyata memiliki peran yang sangat penting bagi perekonomian nasional, Indonesia tidak memiliki sistem pelabuhan dengan kinerja yang baik menurut sudut pandang para penggunanya. Terminal pelabuhan utama Indonesia, The Jakarta International Container Terminal (JICT), telah diketahui sebagai salah satu terminal utama yang paling tidak efisien di Asia Tenggara, dalam hal produktivitas dan biaya unit (Ray 2003). Namun demikian, JICT masih merupakan salah satu pelabuhan Indonesia yang berkinerja baik. Indikator kinerja untuk semua pelabuhan komersial utama menunjukkan keseluruhan sistem pelabuhan sangat tidak efisien dan sangat memerlukan peningkatan mutu. Data mengenai tingkat okupansi tambatan kapal, rata-rata waktu persiapan perjalanan pulang (turn-around) dan waktu kerja sebagai persentase waktu turn-around berada di bawah standar internasional dan mengindikasikan bahwa kapal-kapal terlalu banyak menghabiskan waktu di tempat tambatan kapal atau untuk mengantri di luar pelabuhan.
Faktor-faktor geografis seperti kurangnya pilihan pelabuhan air dalam dan banyaknya pelabuhan pedalaman yang berlokasi di sungai-sungai dan memerlukan pengerukan terus-menerus merupakan halangan utama terhadap kinerja pelabuhan. Kemungkinan, halangan terbesar terhadap pengembangan adalah kurangnya partisipasi sektor swasta (investasi) secara umum dan persaingan dalam sistem pelabuhan. Secara umum, hal ini disebabkan oleh dominasi negara dalam hal persediaan layanan-layanan pelabuhan melalui kegiatan-kegiatan dari empat Badan Usaha Milik Negara, Perum Pelabuhan Indonesia (Pelindo), serta lingkungan hukum dan pengaturan saat ini yang secara efektif membatasi persaingan baik di dalam maupun antara pelabuhan-pelabuhan.
UU Pelayaran tahun 2008 memberikan fondasi untuk reformasi sistem pelabuhan di Indonesia secara menyeluruh. Yang paling jelas adalah bahwa undang-undang tersebut menghapus monopoli sektor negara atas pelabuhan dan membuka peluang untuk partisipasi baru sektor swasta. Hal ini dapat mengarah pada masuknya persaingan di sektor pelabuhan, yang dapat memberikan tekanan untuk menurunkan harga dan secara umum meningkatkan pelayanan pelabuhan. Akan tetapi, transformasi sistem pelabuhan Indonesia merupakan proses yang panjang dan sulit. UU Pelayaran tahun 2008 menjadi sangat penting dan merupakan langkah positif pertama, namun banyak hal yang masih harus dikerjakan terkait dengan pengembangan lembaga pendukung, peraturan, dan dokumen-dokumen perencanaan. Hingga tersedianya kerangka kerja pengaturan dan kelembagaan tersebut, para investor menghadapi kekosongan kebijakan dan tidak mengetahui secara pasti proses-proses apa yang harus diikuti serta persetujuan dan izin apa yang harus diperoleh dan dari lembaga mana.
Makalah ini memberikan penjelasan singkat mengenai berbagai tantangan nyata yang menghadang upaya-upaya reformasi tersebut, dengan memberikan perhatian khusus kepada berbagai hambatan yang mungkin timbul terhadap persaingan dan partisipasi sektor swasta. Tantangan-tantangan tersebut, yang akan diuraikan secara singkat pada bagian, berkaitan dengan larangan investasi asing, pengembangan rencana induk pelabuhan nasional, peran otoritas pelabuhan, penetapan layanan pelabuhan, dan peraturan tentang pelabuhan-pelabuhan swasta. Sebelum membahas setiap masalah tersebut di atas, bagian makalah ini akan memberikan pengantar singkat tentang aturan main di pelabuhan Indonesia yang berlaku pada saat ini dengan fokus pada tata kelola, kinerja, dan konteks internasional yang lebih luas.

    II.            POKOK PERMASALAHAN
A.    Tata Kelola dan Struktur Suatu Pelabuhan.
B.     Konteks Internasional.
C.     Faktor Utama Penyebab Buruknya Kinerja Suatu Pelabuhan.

 III.            PEMBAHASAN MASALAH
A.    Tata Kelola dan Struktur.
Pelabuhan-pelabuhan di Indonesia saat ini diatur berdasarkan UU Pelayaran tahun 1992 dan peraturan-peraturan pendukung lainnya. Rezim pengaturan yang baru, di bawah payung UU Pelayaran tahun 2008, tidak akan dilaksanakan sepenuhnya hingga tahun 2012. Sistem pelabuhan Indonesia disusun menjadi sebuah sistem hierarkis yang terdiri atas sekitar 1700 pelabuhan. Terdapat 111 pelabuhan, termasuk 25 pelabuhan ‘strategis’ utama, yang dianggap sebagai pelabuhan komersial dan dikelola oleh empat BUMN, Perum Pelabuhan Indonesia I, II, III and IV. Selain itu, terdapat juga 614 pelabuhan diantaranya berupa Unit Pelaksana Teknis (UPT) atau pelabuhan non-komersial yang cenderung tidak menguntungkan dan hanya sedikit bernilai strategis.
Di samping itu, terdapat pula sekitas 1000 “pelabuhan khusus’ atau pelabuhan swasta yang melayani berbagai kebutuhan suatu perusahaan saja (baik swasta maupun milik negara) dalam sejumlah industri meliputi pertambangan, minyak dan gas, perikanan, kehutanan, dsb. Beberapa dari pelabuhan tersebut memiliki fasilitas yang hanya sesuai untuk satu atau sekelompok komoditas (mis. Bahan kimia) dan memiliki kapasitas terbatas untuk mengakomodasi kargo pihak ketiga. Saat ini, Pelindo menikmati monopoli pada pelabuhan komersial utama yang dilegislasikan serta otoritas pengaturam terhadap pelabuhan-pelabuhan sektor swasta. Pada hampir semua pelabuhan utama, Pelindo bertindak baik sebagai operator maupun otoritas pelabuhan tunggal, mendominasi penyediaan layanan pelabuhan utama sebagaimana tercantum di bawah ini:
·       Perairan pelabuhan (termasuk urukan saluran dan basin) untuk pergerakan lalu lintas kapal, penjangkaran, dan penambatan.
·         Pelayaran dan penarikan kapal (kapal tunda).
·         Fasilitas-fasilitas pelabuhan untuk kegiatan bongkar muat, pengurusan hewan, gudang, dan lapangan penumpukan peti kemas; terminal konvensional, peti kemas dan curah; terminal penumpang.
·         Listrik, persediaan air bersih, pembuangan sampah, dan layanan telepon untuk kapal.
·         Ruang lahan untuk kantor dan kawasan industri.
·         Pusat pelatihan dan medis pelabuhan.
Meskipun legislasi saat ini menjauhkan sektor swasta dari persaingan secara langsung dengan Perum Pelabuhan Indonesia yang berwenang, elemen-elemen lain dari struktur tata kelola menjamin tidak adanya persaingan baik di dalam maupun di antara Perum Pelabuhan Indonesia. Sebagaimana yang dicatat oleh Patunru dkk (2007), UU mewajibkan Perum Pelabuhan Indonesia untuk memberikan subsidi satu sama lain untuk menjamin keberlanjutan keuangan secara menyeluruh dan memenuhi kewajiban layanan umum mereka. Di dalam Perum Pelabuhan Indonesia, pelabuhan-pelabuhan yang menguntungkan diwajibkan memberikan subsidi pada pelabuhan-pelabuhan yang merugi sehingga semakin mengurangi insentif kinerja.
Selain itu, tarif-tarif yang berlaku di pelabuhan, yang sangat ditentukan oleh Pemerintah Pusat, dikenakan secara standar terhadap pelabuhan-pelabuhan sehingga mengurangi peluang persaingan. Hal ini sangat signifikan apabila dua perum pelabuhan Indonesia berbagi daerah yang saling bersaing, seperti misalnya Pelabuhan Tanjung Emas di Semarang dan Tanjung Perak di Surabaya, yang keduanya dijalankan oleh Perum Pelabuhan Indonesia III.

B.     Konteks Internasional.
1.      Kecenderungan pertama adalah yang dimaksud Penfold (2007) sebagai ‘revolusi ukuran kapal peti kemas ukuran’ yang sedang berlangsung dan menggambarkan penggunaan kapal yang lebih besar untuk mendapatkan biaya pengangkutan per unit yang lebih rendah. Data mutakhir menunjukkan bahwa kapal berkapasitas 12.000 TEU dengan rute Eropa-Asia Timur akan menghasilkan penghematan biaya sebesar 11 persen per peti kemas dibandingkan dengan kapal berukuran 8000 TEU dan penghematan sebesar 23 persen apabila dibandingkan dengan kapal berukuran 4000 TEU (ESCAP 2007). Rute-rute utama lintas benua semakin didominasi oleh kapal-kapal besar dengan kapasitas 12.000+ TEU. Kapal yang berukuran lebih kecil yakni 5000-8000 TEU yang sebelumnya digunakan pada rute-rute utama dipindahkan ke rute-rute layanan bongkar muat daerah. Ada dua implikasi penting bagi Indonesia:
·     Kapal-kapal yang lebih besar akan membutuhkan draf (Kedalaman air (minimun) yang diperlukan agar kapal dapat mengapung (tidak menyentuh dasar)) jalur yang lebih dalam dan basin yang dalam, mesin derek yang lebih besar dan lebih cepat dan penanganan kargo yang semakin baik di pelabuhan daerah yang lebih kecil (yang mencakup pelabuhan komersial utama di Indonesia).
·         Keberadaan kapal-kapal yang lebih besar ini pada rute layanan bongkar muat daerah, akan semakin mendesak perusahaan pelayaran daerah untuk meningkatkan armada kapal mereka yang relatif kecil dan tua.
2.      Kecenderungan utama kedua terkait dengan pertumbuhan pesat lalu lintas pengangkutan laut internasional dan dampak yang dihasilkannya terhadap pelabuhan-pelabuhan daerah. Pada dua dekade terakhir, perdagangan internasional telah berkembang 1,5-2 kali tingkat pertumbuhan ekonomi global. Dikarenakan meningkatnya tingkat pemuatan peti kemas pengangkutan, perdagangan peti kemas meningkat dua kali lipat dari tingkat pertumbuhan tahunan rata-rata perdagangan maritim lainnya pada periode yang sama (ESCAP 2007). Pertumbuhan volume peti kemas yang paling cepat adalah di Asia Timur yang sekarang ini menguasai sebagian lalu lintas peti kemas di dunia. Sebagaimana dikemukakan oleh Kruk (2008) dan yang lainnya, kapasitas terminal peti kemas daerah sekarang sudah mencapai tingkat kritis.
3.      Kecenderungan penting ketiga adalah meningkatnya peranan sektor swasta dalam mengembangkan dan mengoperasikan terminal peti kemas. Khususnya pada negara-negara berkembang di mana sektor publik tidak dapat lagi membiayai investasi untuk kapasitas yang baru dan yang sedang dikembangkan. (Bank Dunia Tahun 2001). Sejak awal 90-an, hampir AS$ 33 milyar telah diinvestasikan oleh sektor swasta dalam mengembangkan pelabuhan laut negara, 44 persen diantaranya diinvestasikan di wilayah Asia Timur-Pasifik. Dengan peningkatan volume kargo yang melebihi peningkatan kapasitas terminal, pelabuhan saat ini dilihat sebagai pilihan yang menarik dan investor-investor asing membayar 2-3 kali lipat perolehan (yakni harga) dari yang telah dibayarkan pada akhir 90-an (Kruk 2008). Meskipun ada beberapa privatisasi yang dikatakan tidak dikelola dengan baik di akhir tahun 1990-an/awal tahun 2000-an, sebagian besar aliran investasi Internasional ke pelabuhan laut belakangan ini tidak melalui Indonesia.

C.     Faktor Utama Penyebab Buruknya Kinerja Suatu Pelabuhan.
Ada beberapa faktor yang bersama-sama menghambat kinerja sistem pelabuhan komersial Indonesia:
·         Batasan-batasan geografis. Kedalaman pelabuhan tampaknya menjadi masalah besar di hampir setiap pelabuhan di Indonesia. Indonesia memiliki pelabuhan-pelabuhan perairan dalam alami yang sangat sedikit dan sistem sungai yang rentan terhadap pendangkalan parah yang membatasi kedalaman pelabuhan. Apabila pengerukan tidak dapat dilakukan, seperti yang terjadi dengan pelabuhan sungai Samarinda, kapal seringkali harus menunggu sampai air pasang sebelum memasuki pelabuhan yang menyebabkan lebih banyak waktu non-aktif bagi kapal.
Geografi fisik terutama membatasi bagi pelabuhan-pelabuhan Indonesia di pantai utara Jawa yang melayani wilayah paling padat penduduk dan wilayah dengan tingkat industri tertinggi di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh tanah pesisir/dasar laut yang sangat aluvial dan tidak stabil, ditambah dengan perairan-perairan pantai yang dangkal. Pelabuhan Semarang, pelabuhan utama untuk Jawa Tengah, terutama bermasalah dalam hal ini karena tenggelam dengan kecepatan 7-12 cm per tahun dan sebagian besar pelabuhan berada di bawah air hampir setiap hari dalam sebulan. Setiap 7-10 tahun, kegiatan-kegiatan yang mahal dan memakan waktu harus dilakukan di terminal peti kemas untuk meninggikan dermaga utama dan area penyimpanan.
·         Masalah Tenaga Kerja. Waktu non-aktif yang dibahas di atas sebagian disebabkan oleh cara pemanfaatan tenaga kerja di pelabuhan yang secara efektif melembagakan penggunaan fasilitas pelabuhan secara tidak efisien dan membatasi kemungkinan-kemungkinan peningkatan efisiensi. Di banyak pelabuhan, hanya tersedia satu giliran tenaga kerja dan peluang untuk lembur dibatasi. Untuk pelabuhan-pelabuhan yang dimaksudkan untuk beroperasi selama 24 jam, enam jam dari setiap 24 jam terbuang karena waktu-waktu istirahat yang kaku dan tidak digilir untuk memastikan pelayanan kapal secara berkesinambungan (Nathan Associates 2001).
·         Kurangnya keamanan. Pengiriman kargo dari Indonesia biasanya menarik premi asuransi 30-40 persen lebih tinggi dari kargo yang berasal dari Singapura. Hal ini disebabkan tidak hanya oleh perampokan di laut, tetapi juga oleh kegiatan di pelabuhan yang dilakukan kelompok-kelompok kejahatan terorganisir, pencurian umum dan pencurian kecil (pilferage) sekaligus pemogokan dan penghentian kerja (Carana 2004). Seperti disebutkan selanjutnya, pelabuhan-pelabuhan utama yang terlibat dalam ekspor-impor sekarang harus memperbaiki keamanannya untuk memenuhi persyaratan keamanan internasional baru, yang dikenal sebagai ISPS.
·         Korupsi. Sebab lain waktu non-aktif adalah penundaan karena ketidakadilan dan korupsi dalam alokasi tambatan/berth (Nathan Associates 2001). LPEM-FEUI (2005) mencatat bahwa penggunaan pungutan liar untuk mengurangi waktu antri yang disebabkan kurangnya sarana infrastruktur utama seperti derek jembatan dan ruang penyimpanan juga merupakan hal yang umum. Biaya-biaya semacam itu masih ditambah lagi dengan banyak sekali pungutan liar yang diminta di pelabuhan untuk prosedur ekspor dan impor yang terus disorot di laporan-laporan media.
·         Kurangnya prasarana pelabuhan. Banyak pelabuhan regional kekurangan sarana peti kemas, yang mengharuskan perusahaan-perusahaan pelayaran untuk menggunakan peralatan sendiri, baik yang berada di kapal maupun yang disimpan di pelabuhan. Hanya 16 dari 111 pelabuhan komersial yang mempunyai penanganan peti kemas jenis tertentu. Akhir-akhir ini terdapat keterlambatan pelayaran yang lama di pelabuhan-pelabuhan tertentu, terutama Panjang di Lampung dan Belawan di Sumatra Utara, yang disebabkan oleh rusaknya peralatan sisi-pelabuhan utama (seperti derek jembatan) dan keterlambatan dalam mendapatkan suku cadang pengganti. Kekurangan tempat untuk penyimpanan dan pengisian peti kemas adalah masalah lain yang dihadapi sebagian besar pelabuhan Indonesia. Hal ini seringkali mengharuskan pemakaian armada truk putar untuk mengantar kargo langsung kepada pelanggan atau pos pengangkutan peti kemas (CFS) langsung dari kapal yang menyebabkan lebih banyak keterlambatan, kemacetan pelabuhan yang lebih parah (baik di sisi darat maupun laut) dan biaya penanganan yang lebih meningkat (Carana 2004).
Hampir semua pelabuhan besar Indonesia berlokasi dekat dengan daerah-daerah perkotaan besar yang aksesnya melalui jalan-jalan raya kota yang padat. Masalah kemacetan demikian seringkali diperparah oleh kedatangan kapal penumpang, karena hanya beberapa pelabuhan regional yang memiliki sarana terpisah untuk kapal barang dan penumpang. Di pelabuhan-pelabuhan dengan tingkat okupansi tambatan kapal yang tinggi, kehadiran kapal penumpang dan barang yang bersamaan menyebabkan lebih banyak keterlambatan, dan memperlama waktu persiapan perjalanan pulang kapal barang.

 IV.            KESIMPULAN
Tingkat pencapaian pelayanan kegiatan atau atribut kerja dalam kegiatan operasional pelabuhan dapat diukur dan dijadikan pedoman dalam pemberian pelayanan jasa di pelabuhan. Untuk menggambarkan tingkat pelayanan barang yang telah dicapai oleh pelabuhan secara rata-rata, digunakan satuan pengukur ( tolok ukur) yang dijadikan pedoman atau standar dalam menentukan kebijakan pelayanan jasa pelabuhan. Tolok ukur tersebut diperoleh dari hasil yang dicapai di lapangan melalui pengamatan yang cukup lama dan dapat pula diperoleh melalui suatu penelitian di lapangan untuk jangka waktu tertentu.
Menyadari akan pentingnya kepuasan pelayanan pelanggan sebagai kunci aktivitas pelabuhan, maka manajemen pelabuhan menerapkan Sistem Manajemen Mutu (SMM) ISO 9001. Hal ini dimaksud meningkatkan kepuasan pengguna jasa kepelabuhan dengan pelayanan yang profesional, inovatif dan peningkatan secara berkesinambungan. Disamping menerapkan sistem Manajemen Mutu, Manajemen juga menerapkan sistem kode Pengaman Kapal dan Fasilitas Pelabuhan Internasional ( International Ships and Port Facility Security/ISPS Code) .


DAFTAR PUSTAKA
1.      Carana (2004) Impact of Transport and Logistics on Indonesia’s Trade Competitiveness. Laporan disusun dalam rangka Proyek Peningkatan Perdagangan yang dibiayai USAID untuk Proyek Sektor Pelayanan (TESS).
2.      Nathan Associates (2001) Indonesia Shipping and Port Sector Review, laporan teknis yang disusun untuk Kemitraan yang dibiayai USAID dalam rangka Proyek Pertumbuhan Ekonomi.
3.      Patunru, A. Nurridzki, N and Rivayani (2007) Port Competitiveness: A Case Study of Semarang and Surabaya, Indonesia. Institute for Economic and Social Research (LPEM), University of Indonesia. Report submitted to the Asian Development Bank Institute (ADBI).
4.      Kruk, C. (2008) State of the Port Sector, presentation at the World Bank Roundtable on Logistics, 19 Juni, Bank Dunia, Jakarta.
5.      Ray, D. (2008) Survey of Recent Developments, Bulletin of Indonesian Economic Studies, Desember.
6.      UNCTAD (1998) Guidelines for Port Authorities and Governments on the Privatization of Port Facilities, UCTAD Secretariat, Geneva.